Jika seseorang diberi kemiskinan atau kekurangan, sesungguhnya ia diuji dengan kemiskinan dan kekurangannya itu. Apakah ia bisa bersabar tabah menerima segala kesulitan hidup yang dialaminya. Sedangkan jika diberikan kekayaan dan kesebihan ia juga sedang duji dengan itu. Apakah kelebihan itu ia bisa memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik dan tidak melupakan Allah sebagai Yang Maha Kuasa yang memberi semua itu untuknya. Banyak sekali orang yang sombong, merasa semua kelebihan itu adalah miliknya, padahal semua itu pemberian sekaligus ujian dari Allah. Itulah yang terjadi pada seorang pengusaha dibidang transport yang memiliki pengalaman pahit yang datang ke Rumah Amalia.
Beliau bertutur ketika menjelang lebaran
peristiwa pahit menimpa dirinya. Dia berpikir untuk mendapatkan keuntungan
besar dalam waktu singkat, karena ada perbedaan jatuhnya hari raya menyebabkan
kerugian yang cukup besar. Sampai akhirnya menjual semua asetnya untuk menutupi
hutang. Kondisi itulah yang menyebabkan tekadnya semakin bulat untuk
bershodaqoh di Rumah Amalia. Dulu dirinya orang yang tidak pernah percaya untuk
apa orang bershodaqoh, hanya buang2 duit. Beliau belum mengerti shodaqoh adalah
logika keberkahan. Dikala orang dalam kondisi senang atau susah, bahagia atau
derita, diposisi puncak karier atau dibawah, shodaqoh memberikan kebahagiaan,
kesehatan, keselamatan berlimpahnya rizki. tekadnya untuk bershodaqoh karena
Allah membuatnya menjadi yakin bahwa rizki Allah yang mengaturnya.
Beberapa bulan kemudian beliau bersama istrinya
membuka warung nasi padang, usahanya jauh lebih berkembang pesat dan lebih baik
daripada usaha transport sebelumnya dan yang lebih membahagiakan keluarganya
tidak lagi dikejar-kejar penagih hutang. Bangkitnya ditengah keterpurukan
tidaklah mudah, hanya dengan kekuatan iman kepada Allah yang membuat dirinya
tetap tegar. Ibadah semakin ditingkatkan, keluarganya senantiasa diingatkan
agar tidak lupa melaksanakan sholat lima waktu. ‘Alhamdulillah, pertolongan
Allah itu begitu nyata Mas Agus, melalui shodaqoh saya bisa bangkit dari
keterpurukan.’ tutur beliau pagi itu dihari Ahad di Rumah Amalia.
Selain
sifat takabbur yang pernah menyelinap di hati, aku merupakan orang yang paling
sering ditipu oleh mitra bisnis. Meskipun aku telah berhati-hati dalam bertindak,
tapi tetap saja penipuan itu berlanjut. Mungkin itu adalah salah satu bentuk
teguran Allah kepadaku. Puncak dari penipuan itu terjadi pada tahun 2002. saat
itu, tersebutlah P.Tyang mengajak untuk berkerja sama dengan cara menanam
saham. Setelah dijelaskan bagaimana sistem kerjanya, aku pun tertarik. Uang
sebesar Rp 50 juta, aku serahkan langsung tanpa curiga. Lalu apa yang terjadi?
Ternyata itu hanyalah modus penipuan. Maka lenyaplah uang itu entah-brantah.
Mulai
dari sinilah bisnisku macet. Untuk menutupinya, mobil aku jual, selain itu aku
pun berusaha mencari pinjaman ke teman-teman. Karena tidak mencukupi, maka
akhirnya aku putuskan untuk meminjam di beberapa Bank seperti; BRI, BNI, Niaga,
Permata. Gali lobang untuk tutup lobang.
Aku
benar-benar menjadi orang yang terlilit hutang. Bahkan, karena tidak mampu lagi
membayar kontrakan rumah, aku dan keluarga harus menumpang di rumah mertua.
Tiga
tahun kondisi memprihatinkan tak juga berlalu. Di tengah kekalutan itu, ada
kabar yang mengagetkan bahwa rumah yang kami tempati itu akan dijual oleh
mertua. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Aku tak bisa berfikir lagi, mau
dibawa kemana keluarga saya ini?. Meskipun saya punya banyak famili, tapi aku
tidak akan melibatkan mereka dalam kasus ini.
Singkat
cerita, rumah mertua akhirnya terjual seharga Rp. 130 Juta. Dari hasil
penjualan, bapak (mertua) memberi kami Rp. 20 juta. Namun belum genap berumur
satu minggu, uang itu sudah ludes untuk mencicil hutang-hutangku yang menumpuk.
Istriku menangis, sebab, sedianya uang itu akan kamu gunakan untuk mengontrak
rumah. Tapi, apalah daya, si-pengutang terus berdatangan menagih.
Di
tengah kekalutan, aku datangi temanku. Aku sampaikan permasalahanku dan aku
utarakan bahwa saat ini aku sedang butuh kontrakan. Melalui perantaranyalah aku
dipertemukan dengan seorang pemilik rumah. Setelah bertemu si-empunya, aku
dibingungkan dengan uang kontrakan yang mencapai Rp 16 juta yang tak mungkin
kumili. (sebelumnya, rumah ini ada yang ingin mengontrak sebesar Rp. 36 juta), Wallahu’alam, Karena kelembutan hatinya, kami dipersilahkan menempati rumah
tersebut. Sebagai ganti, aku diminta untuk bekerja dengannya. Rumah berukuran
9x10 meter persegi itulah, yang sejatinya bekas kantor, akhirnya menjadi tempat
kami sekeluarga bernaung hingga saat ini. Allahuakbar! Puji syukur ku terus
kuucapkan kepada Allah yang telah memudahkan segala urusanku.
Langkah
bergabung dengan lembaga dakwah bukan langkah mudah. Keputusan ini, sungguh
sangat bertentangan dengan keinginan orangtuaku yang ingin aku menjadi seorang
pegawai negeri (PNS). Maklum, di desa, jarang anak mengenyam bangku kuliah.
Apalagi, statusku sebagai sarjana Fisika. Merekapun selalu memaksaku, bahkan
tidak jarang dengan menggunakan bahasa yang –kadang-kadang- tidak mengenakkan.
Namun, laksana karang di lautan, tekadku untuk berdakwah dan bergabung di
sebuah lembaga dakwah tak pernah runtuh, sampai akhirnya mereka pun menyerah.
Saya
memilih sebuah lembaga dakwah, sebagai ‘pelabuhan’, karena saya melihat
keindahan Islam di sana, yang sebelumnya tidak pernah saya saksikan di beberapa
lembaga lain. Bagaimana para penghuninya menghormati tamu, sungguh mengesankan.
Belum lagi melihat para awak yang senantiasa menjaga keistiqomahan dalam
menunaikan shalat jama’ah dan shalatul lail (tahajjud), menjadi daya pengikat
tersendiri. Pemandangan semacam inilah yang membuat hatiku berbunga-bunga, dan
mendesakkan hati untuk segera berbabung.
Melalui
aktivitas-aktivitas inilah, aku bisa kembali bangkit dari sebelumnya. Bahkan,
pada bulan Oktober tahun lalu, rumah yang kami (yang semula kontrak telah resmi
jadi milik kami). Karena aku telah membelinya seharga Rp 180 juta.
Mungkin
ada yang bertanya, mengapa saya mampu menanggung beban seberat ini?dan mampu
kembali bangkit?. Jawabannya mungkin satu. Dalam menjalani kehidupan, aku
memiliki satu prinsip yang membuatku teguh dan tak mudah runtuh.
“Tidak
ada jalan buntu selama kita pasrahkan semua urusan kepada Allah.” Sekalipun
saat itu saya tidak memiliki sepeser uang, tetapi dengan prinsip itu, Allah
senantiasa memperkuat diriku untuk mampu menghadapi ujian demi ujian.
Ketika
itu, keyakinanku makin kuat. Keyakinan ini berdasar pada salah satu surat dalam
al-Quran yang berbunyi,
“Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Haj:40].
Hingga
kini aku mendapatkan keberkahan, dan kemudahan yang tidak direncanakan
sebelumnya. karena Allah menunjukan keberkahan dimana melalui cara aku masih
bisa meningkatkan amal shaleh dan tidak disibukkan bisnis itu sendiri karena menolong agama-Nya